Jumat, 10 Juni 2011

Tempat-Tempat Itu, Dulu Dan Sekarang

Tempat-tempat itu, tempat di mana aku pernah tinggal sementara waktu, tempat di mana aku pernah bekerja di sana, tempat di mana aku sering mengunjunginya, atau tempat di mana aku sering melewatinya, antara dulu dan sekarang, masing-masing punya deskripsi sendiri-sendiri. Ada yang masih sama seperti dulu, meskipun waktu sudah belasan tahun berlalu, ada juga yang sudah berubah, dari yang berubah hanya sedikit saja, sampai yang telah berubah banyak, bahkan sampai yang perubahannya sangat mencolok sehingga menjadi berbeda sama sekali dengan apa yang terakhir kali aku lihat dulu.

  1. Sekitar Tempat Kosku (Pancoran, Jakarta Selatan)
Sekitar tahun 96-an, daerah sekitar tempat kosku dulu di Pancoran, Jl. Jend. Gatot Subroto, dekat lampu merah yang ada Patung Pancorannya, masih ada tanah kosong yang berada persis di pinggir jalan.  Tanah kosong tersebut adalah lahan yang cukup luas, yang hanya ditumbuhi rumput yang tidak terurus, yang luasnya kurang lebih satu kaveling, yang sekelilingnya hanya dipagari seng, yang bagian belakangnya berbatasan langsung dengan kompleks perumahan Bank Indonesia Pancoran. Saat ini tanah kosong tersebut sudah menjelma menjadi Gedung Bidakara. Salah satu gedung megah dan prestisius di kawasan tersebut. Lalu ada jalan masuk ke komplek BI yang berada persis di sebelah gedung tersebut, dulunya banyak dipenuhi pedagang kaki lima penjual makanan, tempat di mana aku biasa membeli makanan di situ. Yang biasa aku beli di situ, adalah Indomie rebus, roti panggang, bubur kacang hijau, kue lupis Betawi,  dan martabak. Sampai saat ini jalan tersebut masih ada, malah sudah menjadi sangat bagus dibandingkan dulu, hanya saja sudah bersih dari para penjual makanan dan penjual apapun yang biasa mangkal di situ.

  1. Gedung Samudera Indonesia, Slipi (Jl. Jend. S. Parman,  Jakarta Barat)
Sebelum pindah ke gedung yang sekarang berada di Jl. Jend. Sudirman, dulunya sampai tahun 2000-an, kantorku beralamat di Gedung Samudera Indonesia, Jl. Jend. S. Parman, Slipi, Jakarta Barat. Kalau sekarang aku lewat ke daerah tersebut, aku merasa pangling dengan keadaan sekarang yang berbeda jauh dengan keadaan dulu. Kiri kanan Gedung Samudera Indonesia, sudah sangat berubah. Yang dulunya hanya tanah kosong, sekarang sudah menjelma menjadi gedung tinggi dan apartemen mewah. Yang aku ingat sekali, di sebelah gedung itu, dulu ada komplek perumahan karyawan Bank Indonesia, sekarang pun masih ada. Di sebelahnya persis, ada toko yang lumayan besar, tokonya Fuji Image Plaza, tempat aku dulu sering ke situ untuk mencetak foto, membeli film, atau membeli batu baterei untuk kamera. Sekarang tempat itu telah berubah menjadi sebuah gedung berwarna kuning mencolok,sebagai kantornya DHL International Courier.
Jalan-jalan kecil di belakang Samudera Indonesia, di mana aku juga pernah ngekos di daerah situ, namanya Jl. Anggrek Cendrawasih, tidak berubah banyak. Rumah Asmuni pelawak Srimulat juga masih ada di situ. Di depan rumahnya masih dipakai berjualan makanan khas Surabaya, beberapa kali aku pernah makan siang di situ dulu.

  1. Hotel Borobudur Dan Sekitarnya (Jl. Lapangan Banteng Selatan, Jakarta Pusat)
Pertama kalinya aku mendapatkan pekerjaan di ibu kota, ya di Hotel Borobudur ini, meskipun hanya magang saja. Dibandingkan dulu (sekitar tahun 93-an), hotelnya sendiri tidak banyak berubah, hanya warna hotel yang dulu merah putih, sekarang didominasi warna putih saja. Di seberangnya, ada Lapangan Banteng, yang kondisinya sekarang sudah sangat berbeda dengan dulu. Yang paling mencolok adalah dengan keberadaan stage permanen yang sepertinya sengaja dibuat untuk menggelar suatu pertunjukan kesenian. Di bagian depan stage dibuat tempat duduk melingkar dari tembok yang pastinya diperuntukkan buat penonton pertunjukkan. Patung Pembebasan Irian Barat masih dengan gagahnya berdiri di sana. Di dekatnya ada gedung Departemen Keuangan RI, aku dulu suka makan siang di kantinnya. Dari Lapangan Banteng menuju Stasiun Gambir, yang juga menuju ke Gereja Imanuel, ada satu jalan bernama Jalan Pejambon, di mana dulu aku suka berjalan kaki sepanjang jalan itu, menuju halte bus di depan gereja. Rasanya tidak ada yang berubah, masih sama seperti dulu.

  1. Taman Suropati, Menteng (Jl. Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat)
Tempat ini sering aku kunjungi dulu, untuk sekedar melepaskan penat di sini sejenak, entah itu sepulang bekerja di sore hari menjelang malam sebelum akhirnya pulang ke tempat kos, atau pagi-pagi pas weekend untuk sekedar jogging atau menghirup segarnya udara pagi dengan berjalan santai mengelilingi seputar taman. Tempatnya teduh dan hijau karena banyak pepohonan besar menaunginya, indah juga karena ditumbuhi bunga-bungaan beraneka ragam, tidak ketinggalan ada 2 kolam air mancur yang juga menambah daya tarik dari taman tersebut. Semuanya masih tampak seperti dulu, di dalam taman, masih tegak berdiri beberapa patung artistik, gazebo, lampu-lampu taman yang menjulang tinggi, juga masih tetap berada di situ, sebuah pos polisi. Di dekat taman, ada rumah duta besar Amerika Serikat, sekelilingnya adalah rumah-rumah pejabat tinggi negeri ini, dan di sebelah pos polisi, ada sebuah halte bus. Yang berbeda adalah Patung Kartini yang dulu ditempatkan di Jl. Pangeran Diponegoro di depan Taman Suropati ini. Sekarang Patung Kartini ini sudah diganti dengan Patung Pangeran Diponegoro lengkap dengan kudanya. Yang lainnya yang berbeda adalah kalau dulu aku sering melihat beberapa penjual lukisan menjajakan lukisannya di area taman, sekarang sudah tidak pernah kelihatan lagi. Tentunya karena ada larangan berjualan di area taman tersebut.

  1. Gelanggang Soemantri Brojonegoro, Kuningan (Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan)
Dulu aku sering berenang di sini, selain karena lokasinya yang sangat dekat dengan tempat kosku waktu itu, juga harga tiketnya murah. Tidak heran karena dari segi lokasi bisa memungkinkan orang berdatangan dari mana-mana, juga karena harga tiket masuknya yang murah itu, kolam renang ini selalu dipenuhi pengunjung, saking banyaknya pengunjung yang berenang kelihatan seperti menyemut, air kolamnya sendiri di jam-jam ramai pengunjung, jadinya tidak begitu bersih lagi. Sekarang penampilan gelanggang olah raga ini sudah berbeda jauh dibandingkan dulu, menjadi lebih bagus dan rapi tentunya. Di sana, sekarang sudah ada pusat niaga, yang bisa juga disebut mall, namanya Pasar Festival. Namun, lapangan sepak bolanya sudah tidak ada. Waktu itu masih ada satu lapangan sepak bola.

  1. Taman Ria Senayan (Jl. Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta Pusat)
Di tahun 93-an, Taman Ria Senayan, yang berdekatan dengan komplek gedung DPR/MPR masih eksis. Beberapa kali aku pernah ke sana bersama pacar tentunya. Tempatnya sangat luas, berumput hijau, ditanami bunga-bunga serta pepohonan rindang yang menyejukkan. Di dalamnya juga ada sebuah danau di mana pengunjung bisa duduk-duduk di pinggirnya, malah kalau pas datang di sore hari, kita bisa sekalian menikmati panorama senja, memandang indahnya matahari yang akan tenggelam. Penjual makanan juga banyak bertebaran di sana. Saat ini tempat itu terbengkalai begitu saja. Hanya ada puing-puing bangunan, rumput-rumput ilalang yang tidak terurus, tidak tampak sama sekali bahwa dulu pernah menjadi salah satu tempat indah yang alami yang banyak didatangi warga ibu kota.

Sebenarnya masih banyak tempat-tempat yang lainnya yang ingin aku ceritakan di sini, tetapi rasanya daftarnya terlalu banyak, yang tidak memungkinkan aku untuk menceritakannya sekaligus secara bersamaan sekarang. Lain kali, dalam judul yang berbeda, pasti aku akan menceritakannya.

Kamis, 09 Juni 2011

Pacar Pertama, Cinta Pertama Dan Cinta Pada Pandangan Pertamaku

Kalau segala sesuatu di dunia ini,  tidak ada yang tidak mungkin, seharusnya kita akan menemukan ada orang-orang yang pacar pertamanya, juga adalah cinta pertamanya, sekaligus jatuh cintanya itu juga jatuh cinta pada pandangan pertama. Lebih dari itu bisa jadi cinta terakhirnya juga yang membawanya ke sebuah ikatan pernikahan. Wow …. Orang-orang dengan kondisi sepert itu, mungkin bisa dikategorikan sebagai kelompok manusia langka.

Orang-orang dengan kondisi seperti itu,  mungkin bisa juga dikatakan telah menemukan cinta sejatinya sejak pertama kali dia bersentuhan dengan yang namanya cinta. Orang yang telah berhasil merebut hatinya itu pun, pastinya adalah sudah orang yang terbaik sejak orang itu pertama kali mengenal dunia cinta dan pertama kali tertarik dengan lawan jenisnya. Dia tidak harus memilih lagi, dia tidak harus berganti pacar, dia tidak pernah putus dari pacarnya itu, dikarenakan segala sesuatu yang dicarinya dari seorang pasangan hidup, sudah dia temukan ada pada diri orang itu. Betapa mereka telah diberikan anugerah yang begitu besar oleh Tuhan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.

Aku sendiri, pacar pertamaku dan cinta pertamaku adalah orang yang berbeda. Saat pacaran pertama kali, aku masih remaja umur belasan tahun, aku masih duduk di bangku SMA, dan aku yakin, perasaan yang mendasari untuk aku bisa menjalin hubungan pacaran dengan pacar aku itu tidak lebih dari hanya sekedar rasa suka terhadap lawan jenis, sama sekali tidak didasari oleh perasaan cinta. Ketika putus, tidak ada perasaan kehilangan, tidak ada perasaan terluka, apalagi sampai menjadikanku merana patah hati.

Setelah aku melewati masa remajaku, dan mulai menginjak usia pra dewasa, aku bertemu dengan seorang laki-laki, yang pada saat pertama kali melihatnya saja, aku tahu, aku telah jatuh cinta. Dan aku yakin, itulah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Setelah itu aku memang berpacaran sama laki-laki itu, kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Dan aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya. Jadi, pada laki-laki itulah cinta pertamaku berlabuh, pada laki-laki yang juga telah membuatku mencintainya pada kali pertama aku memandangnya..Meskipun pada akhirnya, hubunganku dengan dia tidak berujung bahagia, hubungan kami kandas di tengah jalan, dan kami harus berpisah setelah menjalin hubungan selama kurang lebih tiga tahun. Perlu waktu yang sangat lama buatku bangkit dari keterpurukan atas perpisahan itu. Aku merana, aku patah hati, aku terluka, aku kehilangan, aku kesepian, aku marah, dan aku frustasi

Untungnya pelan-pelan aku sadar, bahwa hidup harus tetap berjalan,  aku harus meneruskan hidupku tanpa dia. Tidak adil buatku terus menerus mengharapkan dia kembali sampai merusak jiwa ragaku sendiri.

Dan pada akhirnya, aku menikah dengan seseorang yang lain, cinta yang lain dalam hidupku, suamiku kini.


Rabu, 08 Juni 2011

Teringat Kembali

Melihat dan membaca berita mengenai seorang gadis bernama Dora yang punya penyakit langka yang berhubungan dengan kelainan darah akhir-akhir ini di media massa, aku mau tidak mau jadi teringat kisah sedihku sendiri.

Pada tahun 2008, anak laki-lakiku satu-satunya, yang waktu itu baru berumur empat setengah tahun, tiba-tiba divonis penyakit leukimia. Shock, tidak percaya, tidak siap menerima, bahkan rasa-rasanya waktu itu, duniaku tiba-tiba runtuh. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa anakku akan menderita sakit seperti itu, karena selama empat setengah tahun aku membesarkannya, Rama, begitulah sehari-harinya anakku dipanggil, tumbuh sebagai anak yang sehat, normal, cerdas, tak kurang suatu apapun. Dan ketika aku menelusuri riwayat kesehatan keluarga besar dari garis silsilah yang terdekat pun, baik dari pihak suami maupun dari pihak aku sendiri, tidak ada satu orang pun dari mereka yang pernah mengidap penyakit mematikan ini.

Sebelum peristiwa sakitnya anakku itu terjadi pun, duniaku sebenarnya sudah serasa setengah runtuh, bagaimana tidak, beberapa bulan sebelumnya, suamiku sudah tidak bekerja lagi, dia terkena PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Dan tidak lama setelah itu, dia mengalami kecelakaan motor, yang mana mengakibatkan dia menderita patah tulang di pundaknya, jadi saat anakku divonis menderita sakitnya itu, suamiku  sedang bolak balik Jakarta Sukabumi untuk mengobati patah tulangnya di sebuah pengobatan alternatif yang lokasinya tidak berada jauh dari tempat tinggal orangtuaku di kampung. Sedihnya, belum juga suamiku pulih sepenuhnya dari kecelakaan yang menimpanya itu, musibah yang lain berupa sakitnya anakku seperti tersebut di atas, datang dengan tiba-tiba menghantam rumah tanggaku. Kesulitan yang satu belum terselesaikan, sudah datang kesulitan yang lain dalam jeda waktu yang begitu singkat dan secara bertubi-tubi.  Kalau saja waktu itu aku lupa, bahwa semua telah ada yang mengatur, mungkin waktu itu juga aku sudah kehilangan kendali diri.

Untung saja, selain support yang begitu besar dari seluruh keluarga besar, teman dan sahabat, juga dari kantor tempatku bekerja, dari dalam diriku sendiri ada semacam kesadaran yang begitu besar yang timbul, di mana kesadaran itu selalu menuntunku untuk tetap percaya bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Tuhan, dan kesadaran itu juga yang membuatku untuk tetap berpikir positif menerima semuanya, meneguhkan hatiku untuk tetap berprasangka baik sehingga aku pada akhirnya bisa ikhlas menjalaninya . Aku sendiri bersama suamiku saling menguatkan, saling membesarkan hati, bahu membahu, meskipun tak jarang juga terjadi konflik di antara kami berdua pada saat terjadi kesalahpahaman, pada saat kami masing-masing lengah dan keluar dari kendali iman, tetapi sekali lagi aku dan suamiku diberi kesadaran untuk bisa toleran terhadap diri sendiri, bahwa bagaimanapun kami adalah manusia biasa, yang masih sering banyak lupa dan alfanya daripada sebaliknya, jadi pada akhirnya juga, kami bisa memaklumi diri sendiri bahwa hal-hal tidak baik seperti itu tidak akan serta merta tiada dari kehidupan kami berdua. Kesadaran itu pula yang membimbing aku dan suamiku untuk pada akhirnya saling memaafkan satu sama lain.

Lain kali aku ingin memerinci secara details perjalanan sedih dukaku pada masa-masa awal ditimpa musibah itu, bagaimana awal mulanya anakku didiagnosa sakit leukimia, bagaimana tersaruk-saruknya aku dan suamiku menjalani hidup pada masa-masa anakku menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipta Mangunkusumo, bagaimana lelahnya jiwa,  raga dan pikiran  kami waktu itu, bagaimana tersayatnya batin kami menyaksikan buah hati kami yang harus menderita melawan sakit leukimianya  dan  kerasnya pengobatan kemo terapinya. Bagaimana pontang-pantingnya kami pergi ke sana ke mari demi kesembuhan anakku itu (karena meskipun menjalani pengobatan kemo terapi di RSCM, kami juga mengupayakan pengobatan alternatif, apapun kami lakukan, siapapun kami datangi asalkan kami mampu dan tidak berbau syirik alias menduakan Allah SWT).

Tapi aku masih trauma, bisa menulis seperti ini saja, membutuhkan kekuatan hati untuk bisa tetap tegar agar tidak menangis dan menitikkan air mata. Mengingat apa yang terjadi saat itu saja, seolah mengorek luka lamaku, memaksaku untuk merasakan kembali perihnya tusukan-tusukan dari penderitaanku saat itu.

Tapi tentu saja ada kabar gembiranya, kisah sedihku yang aku jalani kurang lebih selama tiga setengah tahun penuh perjuangan itu, berakhir dengan happy ending. Anakku sudah sembuh total, dia seperti sebelumnya, tumbuh normal, sehat seperti anak-anak yang lainnya, bahkan tak tampak tanda-tanda dia pernah mengalami sakit yang begitu mengancan jiwanya itu.

Kahidupan rumah tanggaku pun berangsur-angsur kembali pulih dari keterpurukan, meskipun dari segi finansial, kalau diibaratkan seseorang yang lagi belajar berdiri kembali, kami masih belum bisa berdiri tegak. Masih ada sisa-sisa hutang yang masih harus kami lunasi atas pinjaman uang ke beberapa orang teman, demi untuk membiayai pengobatan jagoanku itu.

Selasa, 07 Juni 2011

Lagu-Lagu Favoritku

Dalam hal menyukai lagu dan musik, aku bukan orang yang fanatik terhadap satu macam jenis lagu atau satu macam jenis aliran musik. Mau lagu apa, aliran musiknya apa, penyanyinya siapa, mau lagu baru direlease atau mau lagu jadul sejadul-jadulnya, kalau enak didengar di kuping aku, ya aku suka. Jamannya masih harus beli kaset atau CD, untuk lagu-lagu yang sangat aku suka, ya aku pasti akan membeli kaset dan CD-nya itu, kemudian aku koleksi, dan sampai saat ini koleksi kaset dan CD yang aku punya masih tersimpan baik dan aman di rumah, meskipun jumlahnya memang tidak banyak.

Di jaman sekarang, di mana teknologi memungkinkan orang untuk dengan mudahnya mengoleksi lagu-lagu kesukaannya dengan cara mendownload gratis dari internet, aku juga termasuk salah satu di antaranya yang melakukannya. Mau lagu apapun, asal hafal judul lagunya, minimal hafal nama penyanyinya, pasti aku bisa menemukannya, meskipun lagu tersebut bisa saja bukan lagu populer.

Apalagi kalau lagu yang aku cari itu lagu favorit banget, aku akan dengan sabarnya mencari, karena aku akan merasa wajib untuk menemukannya, mendengarkannya lagi, dan kemudian menyimpannya di daftar lagu di MP3 aku. Memang, sebagian ada di kaset-kaset dan CD koleksi aku itu, tapi kan untuk bisa mendengarkannya tidak sesederhana kalau kita memutarnya di media MP3, yang juga bisa didengarkan di mana saja, kapan saja, karena aku bisa membawa-bawanya serta ke mana pun aku pergi.

Selain karena berlirik dan bermelodi indah, biasanya menjadi favorit karena lagu-lagu tersebut adalah juga lagu kenangan bersama orang yang tersayang saat itu. Bisa karena aku dan si dia sama-sama menyukai lagu tersebut, atau karena liriknya rasa-rasanya pas sekali dengan apa yang aku alami bersamanya saat itu.

Lagu-lagu yang paling aku favoritkan, dan tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang, alias tidak lekang dimakan waktu, adalah lagu-lagunya Bimbo. Lagu-lagu Bimbo ini sudah biasa aku dengar sejak aku remaja. Awalnya Bapaklah yang suka membeli kaset Bimbo, memutarnya di rumah, kemudian aku ikut mendengarkan, dan lama-lama menjadi ikut menyukai lagu-lagunya, bahkan bukan hanya sekedar suka, tapi menjadi lagu favoritku hingga saat ini, setelah berpuluh tahun berlalu. Saking memfavoritkannya, aku banyak sekali hafal di luar kepala lagu-lagunya Bimbo itu, dari mulai lagu popnya, lagu berlirik bahasa Sundanya, sampai lagu qasidahnya.
Sebut saja Melati Dari Jayagiri, Sendiri, Flamboyan, Balada Seorang Biduan, Melati, Adinda, Jumpa Untuk Berpisah, Tajam Tak Bertepi, Tuhan, Indung, Koboy Kolot, Sajadah Panjang, dan Rindu Kami.

Kalau lagu-lagu yang lainnya, yang akan selalu ada di song play list aku adalah lagu-lagu di bawah ini, dan ini baru sebagiannya, sebenarnya masiiiiiih banyak lagi:

  1. Unintended (Muse)
  2. You’re My Everything (Neil Sedaka)
  3. Lentera Cinta (Nicky Astria)
  4. Mengapa Harus Jumpa (D’Loyd)
  5. Nothing’s Gonna Change My Love For You (George Benson)
  6. Love Story (Andy William)
  7. I Miss You Like Crazy (Nathalie Cole)
  8. I Can’t Stop Loving You (Ray Charles)
  9. Pertama Dan Terakhir (Ermy Kulit)
  10. You Are My Love (Oscar Harris)
  11. Love Of My Life (Queen)
  12. Unbreak My Heart (Tonny Braxton)
  13. Sweet Momories (Andy William)
  14. Musik Instrumental Richard Clayderman (lagu apa saja)
  15. It Must Have Been Love (Roxette)
  16. Why Do You Love Me (Koes Plus)
  17. Sekar Manis (Lagu Sunda)
  18. Tilam Sono (Lagu Sunda oleh Ida Widawati)
  19. Andaikan Kau Datang (Ruth Sahanaya)
  20. That’s Why You Go Away( Michael Learn To Rock)
  21. You Are (Dolly Parton)
  22. Suara Hati (Melly Goeslaw)
  23. Setulus Hatimu Semurni Cintamu (Arie Kusmiran)
  24. Hati Selembut Salju (Jamal Mirdad)
  25. Begitu Indah Meriam Bellina)
  26. Gerimis Mengundang (Slam)
  27. Kokoronotomo (Mayumi Itsuwa)
  28. Dealova (Once)
  29. Anggun (Mimpi)
  30. A Whole New World (OST Alladin)
  31. Love Is Blue (Caludia Longet)
  32. Only You (The Platters)
  33. Crazzy (Julio Iglesias)
  34. Don’t Sleep Away This Night (Daniel Sahuleka)
  35. Unchained Melody (Air Supply)
  36. Kini Baru Kau Rasa (Dewi Yull)
  37. Karena Cinta (Asti Asmodiwati)
  38. Kau Bukan Dirimu (Dewi Yull)
  39. Tak Ingin Sendiri (Dian Piesesha)
  40. Kuta Bali (Andre Hehanusa)
  41. Tanah Air (Lagu Perjuangan, Ibu Sud)
  42. Sepasang Mata Bola (Lagu Perjuangan, Ismail Marzuki)

Senin, 06 Juni 2011

Dokumentasi Pribadiku Yang Raib

Aku termasuk orang yang rajin dan rapi dalam mendokumentasikan arsip-arsip pribadi, baik dokumen-dokumen yang bersifat vital dan berguna seumur hidup seperti ijazah, akta kelahiran, sertifikat kepemilikan properti, surat pengangkatan kepegawaian di kantor, maupun dokumen-dokumen yang semi vital seperti foto-foto, piagam-piagam penghargaan pada saat mengikuti suatu lomba, atau sertifikat-sertifikat yang aku kantongi setelah mengikuti semacam seminar atau pelatihan-pelatihan.

Tak terkecuali untuk arsip-arsip pribadi yang sifatnya tidak vital, aku pun secara sistematis dan rajin, mendokumentasikannya juga (meskipun untuk menilai vital atau tidaknya itu, tergantung dari sudut pandang siapa dan sudut pandang yang mana mengartikannya). Yang aku maksud tidak vital, karena arsip yang aku maksud,  hanyalah dokumen-dokumen berupa buku harian dari tahun ke tahun dari masa remajaku, foto-foto masa remajaku, surat-surat dengan teman, sahabat, dan pastinyaaa … surat-surat dari pacar, beserta foto-fotonya, juga benda-benda kenangan lainnya yang sarat artinya.

Dengan rapi aku menyimpan semuanya dan mengelompokkannya sedemikian rupa, ini aku lakukan tentu saja agar memudahkan pencarian pada suatu saat aku membutuhkannya dan juga memudahkan penyimpanan seandainya ada dokumen sejenis lainnya yang akan aku tambahkan untuk disimpan bersama-sama disatukan dengan yang telah ada terlebih dahulu.

Dokumen yang tidak vital itu, aku simpan terpisah, di saat-saat aku merindukan mereka yang ada di dalam arsip tersebut, aku tinggal mengambilnya, membukanya, melihat-lihatnya, menerawang ke masa-masa yang entah itu tergambar dalam bentuk foto atau tergambar dalam bentuk tulisan, dan lalu aku mengenangkan semuanya. Serasa semuanya hidup kembali dalam bayanganku, bahkan yang sudah lupapun bisa pelan-pelan kembali teringat, dari samar-samar sampai kemudian menjadi begitu jelasnya tergambarkan dan terbayangkan sedemikian rincinya. Sambil memandangi foto atau sambil membaca catatan-catatanku itu, sering aku menjadi mendadak tersenyum-senyum atau tertawa-tawa sendiri karena tiba-tiba aku diingatkan akan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang lucu dan menyenangkan saat itu. Sebaliknya, tak jarang tiba-tiba aku menjadi merasa sedih sekali, bahkan lebih dari itu, air mataku suka tanpa terasa meleleh-leleh di pipiku. Hatiku tiba-tiba serasa tersayat-sayat. Ada sebagian dari luka hati dan luka di jiwaku seperti tergores kembali dan kemudian menganga lagi, sehingga aku menjadi merasakan lagi perihnya, aku menjadi merasakan lagi sakitnya.

Biasanya, yang penuh dengan muatan kenangan duka itu adalah kenangan yang erat kaitannya dengan kenangan romansa percintaan. Kenangan bahagianya memang banyak, keindahannya juga tiada tara, tapi rasa pahit dan sakitnya juga sebanding. Dalam catatan-catatanku itu, aku menyimpan kenangan bagaimana dulu, pertama kalinya aku jatuh cinta dan jatuh cinta pada pandangan pertama (perlu aku garis bawahi, bahwa cinta pertamaku adalah cinta yang juga cinta pada pandangan pertamaku, tetapi bukan untuk pacar pertamaku), bagaimana aku menceritakan pertama kalinya punya pacar, pertama kalinya terpesona dengan lawan jenis, tidak bisa tidur karena terus menerus memikirkannya, terjebak oleh perasaan cemburu, sampai pahitnya perasaan ketika harus mengalami patah hati, mengalami kecewa yang amat dalam karena perpisahan yang sebenarnya tidak aku inginkan, perasaan merindukan seseorang yang amat sangat tiada terperikan sampai merasakan tersiksanya didera perasaan kesepian karena harus kehilangan seseorang yang amat sangat aku sayang dan amat sangat aku cinta.

Saat tiba waktunya aku harus menikah (bukan dengan cinta pertamaku itu, tapi dengan seseorang yang lain yang saat ini telah lebih dari 7 tahun mendampingiku), aku memutuskan untuk tetap menyimpan semua dokumentasi pribadiku itu di rumah orangtuaku, artinya aku tidak akan membawanya serta ke rumahku setelah aku berumah tangga. Keputusanku itu aku ambil, bukan karena suamiku itu tipe orang pencemburu buta, yang suatu saat nanti, jika secara tidak sengaja menemukan simpanan arsip percintaanku, dikhawatirkan akan memancing keributan dalam rumah tanggaku, sama sekali bukan untuk alasan seperti itu. Aku yakin untuk hal-hal sepele seperti itu, suamiku pasti tidak akan keberatan sama sekali, bahkan untuk menaruh perhatian pun sepertinya tidak akan pernah. Hal itu aku lakukan, demi rasa hormatku padanya, dan supaya adil juga buatnya, karena bagaimanapun, aku sejak saat itu sudah harus menanggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan percintaan masa laluku, aku sejak saat itu sudah menjadi istrinya. Tidak pantas rasanya masih membawa-bawa serta barang-barang sentimental seperti itu. Jadilah aku menitipkannya di rumah orangtuaku, di salah satu lemari di salah satu kamar tidur yang biasanya juga aku tempati pada saat aku sesekali mengunjungi ayah dan ibuku itu..

Setelah itu, entah karena aku sudah disibukkan dengan kehidupan baruku sebagai seseorang sudah berganti status dari wanita single menjadi wanita yang sudah menikah bahkan kemudian telah berganti status juga menjadi seorang ibu, sedikit-sedikt aku menjadi lupa bahwa aku telah menitipan dokumen setengah penting di rumah orangtuaku.

Sampai suatu saat, ketika aku pulang dalam rangka merayakan lebaran di rumah orangtuaku, aku teringat akan simpananku itu, jadi dengan semangatnya, aku mencarinya di lemari di mana aku telah menyimpannya dulu. Tapi, aku harus menelan kekecewaan. Aku tidak bisa menemukannya lagi, padahal aku sudah mencoba mencarinya lagi, mencarinya lagi berulang-ulang,  barangkali terselip, atau barangkali sudah ada yang memindahkannya ke tempat yang lain, aku juga sudah mencoba menanyakannya ke beberapa penghuni rumah orangtuaku, tapi tak satupun dari mereka yang merasa melihat, tak satupun dari mereka yang merasa memindahkan, apalagi merasa telah membuangnya. Aku kecewaaaaa sekali, aku yakin seseorang pasti telah membuangnya. Saat itu aku ingin marah, ingin protes, tapi tentu saja aku tahan perasaanku itu, aku tentu saja merasa malu, karena sepertinya sangat tidak pantas buat aku, meributkan hilangnya benda-benda seperti itu. Buat aku, benda-benda itu memang cukup berniali, tetapi buat orang lain, tidak akan lebih sebagai tumpukan kertas, buku-buku usang, foto-foto buram yang sudah pantas untuk dibuang ke tong sampah, daripada hanya memenuhi ruang dan tempat yang sebenarnya masih bisa digunakan untuk menyimpan sesuatu yang lain yang lebih berguna.

Akhirnya aku pasrah saja, aku berbesar hati mengikhlaskan milikku itu raib tidak jelas, apakah dibuang, apakah terbuang, apakah terbakar, apakah habis dimakan rayap, apakah rusak dan usang dimakan waktu atau apakah disembunyikan seseorang.

Jumat, 03 Juni 2011

Sampai Hatinya Kau ...

Padahal kita berada begitu dekatnya
Hanya saja, ada batas yang begitu tebalnya
Batas itu, adalah keangkuhanmu

Aku yang telah begitu yakin
Bahwa waktu akan bisa menipiskannya
Tiba-tiba aku harus melemahkan keyakinanku itu
Karena ternyata aku salah
Waktu malah semakin membuatnya semakin kokoh

Sebegitu besarnyakah dendammu padaku?
Sebegitu sampai hatinyakah kau padaku?
Meskipun aku memohon, sekali saja aku ingin bertemu lagi denganmu, seumur hidupku?

Imah Mangsana Kuring Keur Budak

Ku naon nya ari kuring, asa teu bosen-bosen nginget-nginget mangsa keur budak, rarasaan teh mani asa ku nineung kana sagala-galana. Nu enggeus-enggeus mah sok inget kana kalakuan kuring jeung sarengkak paripolah sapopoe jaman keur budak, ari ayeuna mah bet rus ras ka bumina ema jeung ayah (kuring ngabasakeun ema ka nini,  ayah ka aki). Eta kitu, pedah kuring mah ti leuleutik digedekeun teh ku nini jeung ku aki.

Ari ayeuna mah geus teu aya tah bumina nini aki teh, teu lami saatos aranjeunna dipundut Ku Nu Kagungan, bumina oge diruag, eta teh kira-kira taun ‘86-an.

Kieu geura gambaranana teh:

Wangunana semi permanen, ka handapna ku tembok, ka luhurna ku bilik anu dikapur kandel, bleg bae tembok teu siga-siga bilik. Imahna di sisi jalan pisan, jalan hirup tempat angkot lalar liwat. Sisi jalan dipageran ku tembok, jangkungna  kira-kira satengah meter, handapeunana aya kamalir, anu ngamuara ka susukan leutik, pipirin imah beulah kenca, rada beh lebak, ngawates jeung panggilingan beas bogana tatangga. Eta pager sisi jalan, estu ngan saukur pikeun misahkan jalan jeung buruan bae, ngarah teu katorojog teuing. Teu aya pantoan-pantoan acan, jadi boh anu rek jajaluk, boh tukang tukang dagang, komo deui tamu anu rek nganjang, blas blus bae ka buruan, tinggal cat kana teras, terus assalamualaikum ngetrokan panto. Komo deui ari keur jalma anu geus conggah mah, tinggal nguliwed bae ka pipir, langsung muru panto tukang, panto samemeh ka dapur, panto anu tara ditutup-tutup acan, sumawona asok dikunca-konci mah. Pasti bisa langsung manggihan pribumi, ari keur kabeneran araya mah, henteu keur kebeneran lunta ti imah.

Di sajeroeun pager anu sisi jalan tea, aya lahan saeutik, dipelakan tangkal pala kenca katuhu, buahna kaasup leubeut, komo da buah pala mah teu manggih usum, salilana buahan wae. Di antara tangkal pala anu dua tea, di tengahna dipelakan tangkal jeruk mangse, sarua eta oge, mun geus usumna buahan mani meuhpeuy, ari tangkalna pendek, atuh mun arek ngala buahna teh teu kudu ge make gantar, tinggal ngajrut, pasti karawel. Minangka pamagerna, sakurilingna eta lahan dipelakan kekembangan. Ti mimiti kembang eros, anu beureum anu bodas, tangkal suji, cacauan, meong congkok, naon mah deui, teu ararapal ngaranna, ngan mani euyeub kekembanganana teh, warna-warni matak seger kana titingalian, sarareungit matak seger aambeuan.

Tina jajaran kekembangan pamager tea, sakuriling buruan samemeh cat unggah kana teras, diamparan ku batu koral. Di gigireun teras katuhueun imah, aya tangkal malanding, anu mun keur usumna, dipupuan meh unggal poe, dipake lalab dahar, maturan lauk asin jeung sambel, malah anu kapalangna oge sok dialaan, dipencok dina lulumpang, make tarasi saeutik,  rasanaaaaa …. mmm … ecoooooo … pisan. Asa moal manggih deui ku ayeuna mah.

Pipireun imah beulah kenca anu ngawates jeung susukan leutik tea sakumaha anu kasebut di luhur, aya lahan anu manjang parat tepi ka tukang ngaliwatan dapur. Dipageran ku awi. Sarua eta lahan oge pinuh ku pepelakan. Handapeun pager awi tea ngahaja dipelakan sabangsaning pepelakan anu jadina ngarambat, mararuntang mapayan pager awi. Sajeroeun pager, ku ayah dipelakan kacang roay, diturusan ku awi, sajabana ti eta, aya oge tangkal jagong, tangkal sampeu, hui boled, bangkuang, tangkal cereme, tangkal cau, jeung rupa-rupa bangba-bungbu dapur saperti jahe, kapolaga, laja, cikur, koneng, cengek, tomat, bawang, surawung, daun sadri, pandan, jeung sajabana. Teu katinggaleun tangkal waluh siem jeung waluh gede. Waluh siem mah ngahaja diparanggongan, tangkalna ngarambat dina paranggong, buah waluhna tinggarantung. Handapeunana waluh gede, mun pas keur buahan, buahna mani tingjungkiring sagede-gede telebug.

Ari wangunan imahna, manjang. Suhunan imahna masih kenah make model anu miringna 45 darajat tea, bagean teras, jeung pipir imah make sorondoy. Ari kamar sarena aya tilu kamar, kamar hareup, kamar tengah, jeung kamar tukang. Tina teras, sup ka tepas, blang bae tepi ka rohangan makan, kakarak aya panto deui, terus aya rohangan leutik, bras ka tungtung imah aya rohangan dapur, tapi wangunanana panggung, jadi rada luhur ti wangunan imahna, jadi mun arek asup ka dapur teh kudu ngalacat unggah. Titincakeunana tina palupuh, handapeun dapur, handapeun palupuh tea, diieun kandang hayam. Ari keur usuk-asak, aya eta oge kompor minyak, nyadiakeun hiji gigireun buyung wadah cai atah inumeun. Ngan lolobana mah make hawu, ayana di deukeut panto kaluar ti dapur, luhureunana make pago keur nyimpen suluh. Di rohangan dapur, aya dua rohangan laleutik, anu hiji leuit, atawa anu sok disebut pabeasan tea. Ngahaja paranti nyimpen beas, hasil sawah jeung hasil kebon, kayaning hui boled, hui sampeu, cau, peuteuy mun mangsana usum peuteuy, buah manggu, buah kadu, dukuh, jeung sabangsaning bubuahan anu sejenna mun mangsa mupu. Rohangan leutik anu hiji deui paranti nyimpen paparabotan dapur anu tara dipake sapopoe, tapi biasana dipake pas aya hajat atawa salametan, kitulah sabangsaning katel jeung panci anu baradag.

Balik deui ka rohangan imah, jaman harita mah can ya kuramak keramik sagala, nu rada meueusan teh make tehel, tah bumina ema oge ngan ukur dipelur, tapi digurat-gurat saukuran tehel tea, jadi we siga make tehel. Cenah, keur anyaran nyicingan imah, ngahaja dikosokan make sangray kalapa, ngarah lemes jeung leucir, herang ngagenclang. Jandelana jandela kaca, panto tepas oge, daun pantona teh aya kacaan di bagian luhurna. Jandela kamar kabeh make model jandela dua rangkep. Nu di jero anu aya kacaan, dihordengan, anu bagean luarna mangrupa daun jandela, ditutup mun poe geus mangsana peuting.

Palebah paparabotanana, nya kitu, estuning paparabotan jaman harita. Korsi di tepas make korsi hoe, kitu deui meja makan. Tapi boh korsi, boh lomari, tempat sare, kabehanana rata-rata kayuna make kayu jati, wareweg. Sajabana ti korsi hoe, di tepas teh aya oge korsi jok anu modelna kabehdieunakeun, masih inget we kuring teh, kelirna hejo saulas, dijajarkeun jeung korsi hoe tea.

Ari jamban, ayana misah tina bangunan imah, ayana di luar gigireun panto dapur. Kaluar ti panto dapur, aya tetecean tina tembok, jrut nincak taneuh, teu jauh tina tetecean, aya kulah leutik dua. Tina kulah leutik eta cai dikocorkeun ku pancuran ka jamban handapeunana. Cai pamiceunana brasna ka susukan leutik anu gigireun imah tea. Ari kulah tea, leutik-leutik oge, laukna loba pisan. Lolobana lauk nila jeung mujaer, sajabana ti eta, dipelakan lauk emas jeung lele. Masih kagambar dina ingetan kuring, mun usumna ngabedahkeun kulah, terus manen lele, ceuk nu bohong tea mah, mani sagede-gede bitis, bakating ku baradag, heg si lele teh hiji-hiji dipiceunan patilna, geus beres mah diburulukeun dia ka jero kulah, ari hayang mah mindang, tinggal misahkeun bae tilu atawa opat hulu mah, moal teu wareg pisan.

Sakalieun balik ka lembur, biasana mah dina mangsana lebaran, ngaliwatan urut imahna ema jeung ayah teh, hate kuring mani sok tingsereset. Ayeuna mah boboro imahna, tatangkalanana oge geus teu nyaresa. Palebah wangunana geus ngajanggelek imah gedong, diimahan ku dulur kuring keneh, kapiincuna ema. Tangkal pala anu dua tea, geus teu aya regang-regangna acan, anu masih keneh aya teh, bari jeung teu robah, pager imah sisi jalan, masih pager tembok dicet bodas, anu jangkunga masih satengah meter tea.

Tapi keun bae, keun imahna geus salin rupa oge, keun sakurilingna oge ges beda jeung gambaran jaman baheula, sapanjang tempatna masih keneh aya mah, sapanjang anu nempatanana oge lain sasaha, tapi masih keneh kulawedet ema keneh. Da geuning kuring masih bisa kenah nincakkeun ieu suku di buruanana, dina batu koralna anu masih sarua …. 

Rabu, 01 Juni 2011

Masa Kecilku, Kenangan Abadiku

Rasa-rasanya aku tidak akan pernah bosan mengenang masa kecilku. Tidak seluruhnya indah, tidak seluruhnya bahagia, tapi sampai saat ini, di mana aku telah puluhan tahun menua bersama waktu, aku masih suka terkenang-kenang akan masa-masa kecilku itu. Aku suka dengan sengaja mengingat-ingatnya, dan seandainya saja diibaratkan sebuah buku, aku begitu rajin membuka lembar demi lembarnya. Dan kenangannya itu, ada yang masih terekam dengan begitu jelasnya, seolah-oleh baru saja berlalu hari kemarin, tetapi ada juga yang sudah samar-samar untuk aku ingat.

Aku lahir dan besar di sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat, bernama Sukabumi, di sebuah kampung di kaki Gunung Gede. Tahun-tahun yang sudah bisa aku ingat dengan jelas adalah ketika aku sudah berusia sekitar 5 tahunan. Pada saat itu (sekitar tahun 80-an), masih jarang orangtua yang memasukkan anaknya untuk masuk ke sekolah TK, begitu juga dengan orangtuaku. Bukan karena waktu itu tidak ada sekolah TK, tetapi satu-satunya sekolah TK yang ada saat itu, adalah sekolah TK yang berada di kompleks perusahaan perkebunan teh yang jaraknya kira-kira 5 kilo meter dari kampungku, dan sepertinya hanya para staf perusahaan perkebunan teh saja yang mendaftarkan anak-anaknya bersekolah di TK tersebut.

Jadi sebelum masuk sekolah SD itu, kegiatanku sebagai anak kecil ya cuma main-main di rumah, kalau di luar rumah, ya bermain bersama anak-anak tetangga, atau besama-sama anak-anak yang masih saudara yang rumahnya berdekatan. Seringnya aku bermain di dalam rumah saja, menemani nenek menjahit, aku bermain-main di dekatnya dengan boneka-boneka kain buatan nenekku itu.

Barulah setelah aku masuk sekolah dasar, kegiatanku agak banyak, selain pergi ke sekolah pada pagi harinya, siang harinya setelah dzuhur, pergi ke sekolah agama sampai ashar. Maghrib pergi mengaji ke pondok pesantren dekat rumah sampai waktu shalat isya, subuhnya mengaji lagi di tempat yang sama, setelahnya pulang ke rumah buat bersiap kembali pergi ke sekolah dasar.

Jarak sekolah dari rumahku sekitar dua kilo meter. Aku bersama-sama teman-teman satu sekolah, pulang pergi berjalan kaki, mana pernah naik angkot, dan mana pernah pula diantar jemput orangtua seperti layaknya anak-anak sekolah dasar saat sekarang. Kehujanan dan kepanasan buat kami anak-anak kampung sudah menjadi hal biasa.

Setelah agak besar, kira-kira setelah menginjak bangku kelas tiga, di mana aku dan teman-teman sudah bisa dikatakan berani, pulang sekolah sudah mulai mencoba-coba untuk melewati jalan pulang yang tidak seperti biasanya. Kalau biasanya pulang pergi melewati jalan yang sama, jalan aspal tempat dilaluinya angkot-angkot, maka semenjak itu, aku dan teman-teman pulang dengan berbelok ke pesawahan, yang nantinya akan berujung di belakang rumah kami. Kalau pas melewati kebun timun yang buahnya siap dipetik, tidak jarang kami mencurinya barang satu atau dua buah, sambil tungak-tengok kanan kiri depan belakang, takut ketahuan yang punya kebun, hehehe.

Yang paling sering aku ingat karena memang aku suka mengingat-ingatnya adalah ketika bermain-main bersama teman-teman di sore hari sepulang dari sekolah agama. Kami sering main bola kasti di petakan sawah yang tidak begitu jauh dari rumah, yang baru selesai dipanen, di mana air sawah itu sudah kering, sawahnya ditutupi dengan jerami yang dibabat, sehingga kalau jatuh tidak sakit karena tubuh kami jatuh di tumpukan jerami tersebut. Tentu saja badan jadi kotor, gatal, jadi setelahnya kami akan nyebur rame-rame mandi, di kolam milik salah satu tetangga, sampai air kolamnya lecek, bahkan ikan-ikannya pun mati pada mabok. Kami akan segera naik dan lari tunggang langgang setelah pemilik kolam berteriak-teriak marah sambil mengacung-ngacungkan sapu dari arah rumahnya.

Setelah berganti pakaian, sebelum maghrib pun aku sudah tiba di kompleks pondok pesantren tempatku mengaji, dan karena masih punya banyak waktu, biasanya aku dan teman-teman akan duduk-duduk di tepi kolam dekat pondok para santri, mengobrol bersenda gurau menantikan adzan maghrib memanggil dari pengeras suara mesjid yang menandakan kami harus segera masuk ke madrasah tempat kami akan belajar mengaji dan shalat maghrib berjama'ah.

Di saat menantikan waktu maghrib itu, di mana senja akan segera berganti malam, tidak jarang aku menyaksikan keindahan alam yang sampai saat ini, keindahannya itu, buatku tetap masih menakjubkan. Di sebelah barat sana, aku melihat matahari akan segera tenggelam, langit dengan cantiknya berwarna jingga, angin berhembus semilir, burung-burung bercicit, kelelawar bergerombol beterbangan, binatang-binatang yang biasa keluar pada saat-saat senja pun berlomba memperdengarkan suaranya. Dan kalau sedang beruntung, aku akan melihat pelangi indah terbentang di langit di atasku. Keindahan itu tak hanya aku dapatkan di sekitar situ saja, kalau aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sejauh yang dapat aku tangkap dengan penglihatan mataku, aku akan disuguhi keindahan alam kampungku, anugerah Tuhan, Sang Pencipta.

Rumah-rumah permanen dan semi permanen berbaris rapi di sepanjang pinggir jalan aspal, yang rata-rata tidak berpagar. Setiap rumah mempunyai halaman yang cukup luas, yang rata-rata ditumbuhi pepohonan dan bunga-bungaan warna-warni yang mempesona, yang tidak jarang di antaranya menyebarkan semerbak harum mewangi.

Mengingat itu semua, tidak jarang aku mengkhayal ingin kembali ka masa kecilku itu. Kenanganku itu begitu abadi, dan aku menyiapkan sebuah ruang khusus dalam hatiku untuk menyimpannya.