Melihat dan membaca berita mengenai seorang gadis bernama Dora yang punya penyakit langka yang berhubungan dengan kelainan darah akhir-akhir ini di media massa , aku mau tidak mau jadi teringat kisah sedihku sendiri.
Pada tahun 2008, anak laki-lakiku satu-satunya, yang waktu itu baru berumur empat setengah tahun, tiba-tiba divonis penyakit leukimia. Shock, tidak percaya, tidak siap menerima, bahkan rasa-rasanya waktu itu, duniaku tiba-tiba runtuh. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa anakku akan menderita sakit seperti itu, karena selama empat setengah tahun aku membesarkannya, Rama, begitulah sehari-harinya anakku dipanggil, tumbuh sebagai anak yang sehat, normal, cerdas, tak kurang suatu apapun. Dan ketika aku menelusuri riwayat kesehatan keluarga besar dari garis silsilah yang terdekat pun, baik dari pihak suami maupun dari pihak aku sendiri, tidak ada satu orang pun dari mereka yang pernah mengidap penyakit mematikan ini.
Sebelum peristiwa sakitnya anakku itu terjadi pun, duniaku sebenarnya sudah serasa setengah runtuh, bagaimana tidak, beberapa bulan sebelumnya, suamiku sudah tidak bekerja lagi, dia terkena PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Dan tidak lama setelah itu, dia mengalami kecelakaan motor, yang mana mengakibatkan dia menderita patah tulang di pundaknya, jadi saat anakku divonis menderita sakitnya itu, suamiku sedang bolak balik Jakarta Sukabumi untuk mengobati patah tulangnya di sebuah pengobatan alternatif yang lokasinya tidak berada jauh dari tempat tinggal orangtuaku di kampung. Sedihnya, belum juga suamiku pulih sepenuhnya dari kecelakaan yang menimpanya itu, musibah yang lain berupa sakitnya anakku seperti tersebut di atas, datang dengan tiba-tiba menghantam rumah tanggaku. Kesulitan yang satu belum terselesaikan, sudah datang kesulitan yang lain dalam jeda waktu yang begitu singkat dan secara bertubi-tubi. Kalau saja waktu itu aku lupa, bahwa semua telah ada yang mengatur, mungkin waktu itu juga aku sudah kehilangan kendali diri.
Untung saja, selain support yang begitu besar dari seluruh keluarga besar, teman dan sahabat, juga dari kantor tempatku bekerja, dari dalam diriku sendiri ada semacam kesadaran yang begitu besar yang timbul, di mana kesadaran itu selalu menuntunku untuk tetap percaya bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Tuhan, dan kesadaran itu juga yang membuatku untuk tetap berpikir positif menerima semuanya, meneguhkan hatiku untuk tetap berprasangka baik sehingga aku pada akhirnya bisa ikhlas menjalaninya . Aku sendiri bersama suamiku saling menguatkan, saling membesarkan hati, bahu membahu, meskipun tak jarang juga terjadi konflik di antara kami berdua pada saat terjadi kesalahpahaman, pada saat kami masing-masing lengah dan keluar dari kendali iman, tetapi sekali lagi aku dan suamiku diberi kesadaran untuk bisa toleran terhadap diri sendiri, bahwa bagaimanapun kami adalah manusia biasa, yang masih sering banyak lupa dan alfanya daripada sebaliknya, jadi pada akhirnya juga, kami bisa memaklumi diri sendiri bahwa hal-hal tidak baik seperti itu tidak akan serta merta tiada dari kehidupan kami berdua. Kesadaran itu pula yang membimbing aku dan suamiku untuk pada akhirnya saling memaafkan satu sama lain.
Lain kali aku ingin memerinci secara details perjalanan sedih dukaku pada masa-masa awal ditimpa musibah itu, bagaimana awal mulanya anakku didiagnosa sakit leukimia, bagaimana tersaruk-saruknya aku dan suamiku menjalani hidup pada masa-masa anakku menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipta Mangunkusumo, bagaimana lelahnya jiwa, raga dan pikiran kami waktu itu, bagaimana tersayatnya batin kami menyaksikan buah hati kami yang harus menderita melawan sakit leukimianya dan kerasnya pengobatan kemo terapinya. Bagaimana pontang-pantingnya kami pergi ke sana ke mari demi kesembuhan anakku itu (karena meskipun menjalani pengobatan kemo terapi di RSCM, kami juga mengupayakan pengobatan alternatif, apapun kami lakukan, siapapun kami datangi asalkan kami mampu dan tidak berbau syirik alias menduakan Allah SWT).
Tapi aku masih trauma, bisa menulis seperti ini saja, membutuhkan kekuatan hati untuk bisa tetap tegar agar tidak menangis dan menitikkan air mata. Mengingat apa yang terjadi saat itu saja, seolah mengorek luka lamaku, memaksaku untuk merasakan kembali perihnya tusukan-tusukan dari penderitaanku saat itu.
Tapi tentu saja ada kabar gembiranya, kisah sedihku yang aku jalani kurang lebih selama tiga setengah tahun penuh perjuangan itu, berakhir dengan happy ending. Anakku sudah sembuh total, dia seperti sebelumnya, tumbuh normal, sehat seperti anak-anak yang lainnya, bahkan tak tampak tanda-tanda dia pernah mengalami sakit yang begitu mengancan jiwanya itu.
Kahidupan rumah tanggaku pun berangsur-angsur kembali pulih dari keterpurukan, meskipun dari segi finansial, kalau diibaratkan seseorang yang lagi belajar berdiri kembali, kami masih belum bisa berdiri tegak. Masih ada sisa-sisa hutang yang masih harus kami lunasi atas pinjaman uang ke beberapa orang teman, demi untuk membiayai pengobatan jagoanku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar